Industrialisasi Pendidikan

   


Beberapa riwayat hadits tentang pendidikan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw, menjadi asumsi dasar pemahaman masyarakat tentang nilai penting dari aktivitas bernama pendidikan ini. Pembenaran yang dilakukan ini telah meramu akal pikiran masyarakat bahwa manusia tidak akan mungkin mampu menjadi manusia seutuhnya tanpa pendidikan. Tidak dapat dipungkiri memang, sebab hal ini pun selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh oleh filsuf hebat bernama Immanuel Kant.      

Atas dasar asumsi inilah para orang tua dengan mudah begitunya (terlepas dari kewajibannya sebagai orang tua) untuk menitipkan anaknya kepada kegiatan pendidikan ini. Bukan salah memang, namun ada baiknya kita menelaah lebih jauh tentang teknis pendidikan kita hari ini. Telaah ini dijadikan sebagai satu upaya untuk melihat lebih dalam, apa, bagaimana, mengapa dan hasil setelah bergelut dalam dunia pendidikan ini akan menjadi apa dan bagaimana. Sebab adanya pendidikan tidak mungkin terlepas dari kepentingan, baik itu agama, ideologi, politik dan sebagainya.

Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh masyarakat agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Pendidikan menjadi salah satu bentuk usaha untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupan dan budaya manusia. Dalam usahanya ini terdapat hubungan antara individu, masyarakat dan negara. Diantara hubungan tiga komponen itu, individu menduduki posisi paling lemah. Sedangkan negara berada pada posisi memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan yang sah dan dijamin hak monopolinya. Lalu masyarakat berada pada satu tempat diatas individu, sebab mereka dapat menguasai individu melalui kekuatan dominasi dalam ekonomi, maupun kekuatan hegemoni dalam budaya manusia.

Saat ini, terkhusus di Indonesia kita mengetahui agenda reformasi pendidikan nasional dengan konsep “Merdeka Belajar” yang dikenalkan oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Gagasan yang berusaha untuk merubah pola lama pendidikan di Indonesia, dimana peserta didik dijadikan sebagai subjek pendidikan. Artinya ruang belajar dikelas harus mampu memfasilitasi dengan memposisikan peserta didik sebagai subjek yang merdeka. Sebab, selama ini proses pembelajaran formal memandang peserta didik sebagai objek yang akan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri. Lembaga pendidikan layaknya pabrik yang mempersiapkan para pekerja. Orientasi pasar melahirkan sistem pendidikan yang sekuler dan materialistik sehingga anak didik mengalami alienasi baik secara individual dan kultural (dehumanisasi).

Hingga hari ini pendidikan yang masih kita terapkan masih menekankan pada aspek kognitif. Hasil perolehan angka-angka dijadikan sebagai alat ukur untuk menentukan kompetensi peserta didik. Padahal kita tahu bahwa nilai angka sama sekali bukanlah alat ukur untuk melihat kesiapan peserta didik setelah selesai mengenyam pendidikan yang menjenuhkan seperti ini. Juga tidak mengindikasikan kematangan karakter peserta didik untuk menghadapi realitas kehidupannya kelak. Ditambah lagi adanya fenomena kapitalisasi biaya pendidikan, birokratisasi lembaga pendidikan yang kaku dan alot, serta sekulerisasi sistem pendidikan yang mencerabut dunia pendidikan dengan lingkungan sosial yang nyata.

Pada akhirnya kita kelompok yang sadar akan pendidikan di Indonesia hanya mampu menelan ludah sembari mengelus dada melihat generasi muda negeri ini terjebak pada persoalan dekadensi moral. Hal yang mendasar untuk menjawab kondisi seperti ini adalah dengan cara kita menelaah posisi manusia dalam sistem pendidikan yang ada pada saat ini.  Hari ini, para pelaku pendidikan seperti pihak lembaga pendidikan, keluarga peserta didik, masyarakat umum dan peserta didik masih terhegemoni oleh bisikan pengaruh dari luar (ideologi/kepentingan kapitalisme) sehingga mereka secara tidak sadar memahami pendidikan sebagai usaha untuk memiliki skill dalam dunia industri. Pemahaman yang memandang bahwa “Saya sekolah harus linear atau tersambung dengan kepentingan industri atau lapangan kerja”. Ini yang kemudian saya maksud sebagai industrialisasi pendidikan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Kita dipaksa sujud pada demokrasi liberal yang saat ini menguasai kehidupan sosial, sehingga mempengaruhi tatanan ekonomi global yang menyebabkan adanya kapitalisasi pendidikan.

Menurut Franz Magnis Suseno ciri masyarakat modern adalah ; 1) Masyarakat berdasarkan industrialisasi dan perubahan total gaya hidup, 2) Lahirnya masyarakat informasi yang tidak tergantung alam, 3) Terjadi pertarungan ideologi, politik, budaya dan ekonomi. Modernisasi hakikatnya bukan hanya perubahan inkonstitusional, melainkan juga perubahan pada kesadaran manusia. Hal ini sudah jelas didepan mata kita, telah menimbulkan budaya materialisme, konsumerisme, tindakan kriminal, pelecahan seksual, hedonisme dan tindakan asusila lainnya. Kesadaran manusia yang terhegemoni inilah yang nantinya akan membiarkan begitu saja sumber kekayaan alam kita direbut oleh tangan asing. Pendidikan yang tidak berbasis kearifan lokal inilah yang membuat generasi kita asing dengan kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

Hegemoni kapitalisme ini telah mencuci otak manusia di Indonesia. Kesadaran Pendidikan berbasis kearifan lokal telah dijajah oleh manisnya janji globalisasi. Pendidikan wajib selama 12 tahun, ternyata telah mengasingkan kita dengan dunia didaerah masing-masing. Sektor pertanian, peternakam yang masih dikerjakan oleh generasi tua, sering kali membuat penulis tidak mampu untuk menahan tangis. Betapa tidak, selama 12 tahun bahkan lebih kita telah terpenjara pada pendidikan asing. Paradigma yang beranggapan bahwa “Pendidikan kita harus linear” ternyata hanya akan mengasingkan diri kita pada wajah asli Indonesia. Kita telah menjadi orang asing di negeri sendiri selama lebih dari 12 tahun, dengan secara rakus menikmati godaan keindahan globalisasi yang sampai mempengaruhi dunia pendidikan.

Dunia pendidikan modern, pemahaman tentang linearitas ini sebetulnya dilandasi oleh asumsi tentang industrialisasi pendidikan. Dimana ada kontrak secara tidak langsung antara jasa pendidikan yang melahirkan tenaga kerja dengan dunia industri yang akan menyerapnya. paradigma pendidikan semacam inilah yang menyempitkan makna pendidikan sesungguhnya. Bahwa pendidikan sejatinya tidak hanya untuk menghasilkan keahlian yang bermanfaat untuk dunia pekerjaan saja.  Tapi, yang lebih dalam dari itu adalah pendidikan harus mampu melahirkan kesadaran untuk menyikapi dunia sosial disekitar kita.

Paradigma tentang linearitas pendidikan yang mengarah pada industrialisasi pendidikan telah merasuk pada generasi kita saat ini. Kenyataan bahwa pendidikan hari ini sebagai mesin spirit industrialisasi sudah memang benar adanya. Tidak adanya value dalam kesadaran kita ini yang merubah total hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Belajar bukan lagi tentang mencari ilmu agar mampu bermanfaat untuk kehidupan sosial, melainkan hanya untuk mendapatkan ijazah agar setelah lulus bisa langsung mendapatkan pekerjaan. Kenyataan ini bisa kita terima dengan logis. Bagaimana tidak, kita tahu bahwa menuntut ilmu saat ini artinya kita harus siapkan mengeluarkan ongkos. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan. Maka tak heran semangat untuk mengembalikan modal selama belajar menjadi motivasi tersendiri bagi generasi kita saat ini. Inilah sistem pendidikan berbasis kapitalisme.

Kita mengetahui adanya model pendidikan yang berbasis “Triple Helix”  yakni; Academic, Business and Government akan sangat membantu industri untuk menyerap tenaga kerja terdidik. Dalam hal ini, industri berperan sebagai rumah produksi, pemerintah sebagai regulator, dan lembaga pendidikan sebagai katalisator. Kerja sama antara tiga pihak ini makin menguatkan adanya transformasi pendidikan yang berbasis knowledge based economy, yang melahirkan sumber daya manusia yang memiliki inovasi daya saing dan skill siap untuk bekerja. Perkawinan antara pendidikan dengan industri ini semakin menunjukan ketidak mampuan pemerintah untuk berdikari karena masih harus bergantung pada belas kasih dari bantuan bos industri. Sedangkan anak negeri menjadi korban yang disiapkan untuk dijadikan karyawan atau buruh kapitalis, bukan sebagai generasi pelopor peradaban.

Dalam konteks falsafah pendidikan di Indonesia, muncul tokoh seperti Ki Hajar Dewantara. Beliau menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal olah pikir saja. Tetapi juga persoalan tentang olah rasa dan juga olah karsa yang berusaha menyatukan tiga tindakan ini menyatu dalam proses pendidikan.  Dengan kata lain, yang ditekankan oleh falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah model pendidikan holistik yang mengedepankan manusia sebagai satu keutuhan. Keutuhan pengalaman manusia secara artistik, kognitif, emosional dan lain sebagainya. Sehingga mampu melahirkan satu manusia yang utuh, tidak menindas dan memanusiakan manusia terkhusus dalam menelaah kembali hakikat pendidikan yang semestinya di pahamai oleh masyarakat Indonesia. Selama ini falsafah pemikiran kritis beliau sudah tergerus oleh modernisasi dengan arah spesialisasi untuk memenuhi kebutuhan industri tadi.

Kita perlu mengembalikan lagi suatu kesadaran bahwa pendidikan itu jalankan seharusnya untuk membentuk manusia seutuhnya. Hasilnya ketika hal ini diwujudkan adalah lahirnya manusia yang terbuka, sadar akan potensi alam Indonesia, dan mempertahankan budaya bangsa. Perlu adanya model pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada peserta didik, disamping juga dengan menyadarakan generasi kita terhadap pendidikan yang terkena dampak dari kepentingan industri kapitalisme. Sehingga mereka mampu menimbang kembali akan kesadarannya dalam mengenyam dunia pendidikan.


Muh. Faza Afan Rosyadi,  Departemen Internal DEMA Fakultas Tarbiyah IAINU Kebumen

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama